Tegang Bentang: Mengawal Catatan Sejarah Arsitektur Modern Indonesia

Oleh: Rifandi S. Nugroho | Rabu, 30 Mei 2018

Pada bulan November 2007, untuk pertama kalinya sebuah kompilasi sejarah arsitektur Indonesia dipublikasikan dalam wujud pameran dan buku. Beberapa peneliti dari dalam dan luar negeri terlibat sebagai kontributor untuk membedah topik yang tergolong segar kala itu: Arsitektur Modern Indonesia, di saat penulisan sejarah arsitektur Indonesia kebanyakan berkutat pada dua topik dominan, yang kolonial dan yang lokal.

Semua bermula di tahun 2006, saat Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA) sedang gencar melakukan riset dan pemetaan terhadap sejarah arsitektur Indonesia pada era sebelum dan setelah kemerdekaan. Di tengah perjalanannya, Netherlands Architecture Institute (kini menjadi Het Nieuwe Instituut) menawarkan PDA untuk menggelar pameran arsip koleksi mereka pada awal tahun 2007. Sebelumnya, koleksi arsip tersebut telah dipublikasikan sebanyak dua kali di kota Rotterdam, dalam sebuah pameran yang berjudul Modernity In The Tropic dan buku The Past In The Present Architecture In Indonesia suntingan Peter J.M. Nas dan Martin de Vletter.

Ketimbang menampilkan cerita yang sama dengan yang telah dipamerkan oleh NAI, PDA mengambil kesempatan itu untuk merajut ulang narasi sejarah arsitektur Indonesia dari berbagai sumber dengan satu benang merah, Tegang Bentang: Seratus Tahun Perspektif Arsitektur di Indonesia. Judul tersebut dipilih melalui serangkaian diskusi intensif oleh Nadia Purwestri, Febriyanti Suryaningsih, Mohammad Nanda Widyarta, dan Suryono Herlambang. Mereka kemudian memilih Amir Sidharta sebagai kurator pameran dan membentuk tim produksi pameran untuk bekerja dalam waktu sebelas bulan.

Sebagai judul, Tegang Bentang dpilih karena dinilai mewakili diskursus yang terjadi di Indonesia selama bertahun-tahun. Sebagaimana ungkap Amir Sidharta di dalam pengantar kuratorialnya: 

“Sejarah Arsitektur Modern Indonesia terbangun dari ketegangan pemikiran dan perdebatan tentang gagasan-gagasan arsitektural yang seringkali bertentangan. Namun, justru ketegangan-ketegangan itulah yang sampai sekarang mengakibatkan wacananya terus berlanjut, dan membangun bentang sejarah Arsitektur Modern Indonesia tersebut.”

Alih-alih berujung pada temuan identitas tunggal, proses pencarian arsitektur Indonesia malah membentangkan dinamika yang tak pernah usai. Ketegangan menjadi kata kunci untuk menerjemahkan proses menjadi modern, suatu hal yang cukup kompleks untuk didefinisikan. Di Indonesia proses modernisasi didorong oleh upaya-upaya kemerdekaan - proses “menjadi bangsa Indonesia” - yang tidak tradisional dan tidak lagi kolonial, namun berwawasan nasional. Landasan politis ini digunakan untuk melihat hubungan yang terjadi pada arsitektur lima dasawarsa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Penyusunan lini waktu perkembangan arsitektur diatur beririsan dengan peristiwa-peristiwa penting lokal maupun global. Sebuah strategi yang bertujuan untuk memperlebar persepsi publik terhadap arsitektur sehingga ia dapat diposisikan sepadan dengan peristiwa sejarah umum lainnya, bukan sekedar sebuah karya estetik yang otonom.

Pameran ini diadakan sebanyak dua kali, dimulai di Monumen Nasional berlanjut ke Erasmus Huis, Jakarta. Alih-alih sebagai uji coba, alasan utama di balik terselenggaranya pameran pertama di Monumen Nasional adalah keinginan dari pihak penyelenggara untuk membuka pameran arsip sejarah di dalam sebuah ruang yang memiliki kualitas sejarah pula. Sebuah usaha penubuhan gagasan melalui representasi tempat dan suasana. Di dalam ruang pamer, puluhan dokumen arsip direproduksi dan dicetak ulang ke dalam panel-panel besar, dilengkapi dengan maket bangunan yang sebagian besar diproduksi ulang. Khusus untuk bangunan Wisma Dharmala Jakarta, pihak penyelenggara diberi kesempatan oleh pemilik bangunan untuk memamerkan maket studi versi asli rancangan Paul Rudolph.

Strategi display yang digunakan cukup sederhana, menggunakan panel-panel dinding dan lantai berlatar putih glossy - yang mengisi ruangan hitam besar - tempat di mana objek pameran terpampang sebagai fokus utama. Beberapa maket diletakan pada masing-masing pedestal yang berdiri di atas bilah-bilah tiang berwarna hitam. Pada satu sisi dinding terdapat infografis sejarah dari tahun 1870 hingga 2000 berisi titik-titik peristiwa penting - mulai dari dihapusnya sistem tanam paksa dan dibukanya sistem penanaman modal swasta oleh pemerintah Hindia Belanda di tahun1870, Pencarian jatidiri arsitektur Indonesia di dekade 1920an, Repelita I Orde Baru di tahun 1972, runtuhnya Tembok Berlin di tahun 1989, jatuhnya rupiah di tahun 1998, dan lain-lain - yang membantu memetakan posisi arsitektur dalam pusaran dinamika ekonomi, sosial, politik lokal maupun global. Area pamer dipecah menjadi empat bagian mewakili masing-masing episode sejarah yang disusun kurator. Tiap bagian dihubungkan oleh garis merah dan hitam yang bersilangan, sebagai representasi dari keterkaitan tiap episode.

Episode pertama berjudul “Sintesa Arsitektur Hindia”, menceritakan konteks pencarian dan perdebatan yang terjadi dalam pembentukan masyarakat Hindia melalui sintesis antara timur dan barat. Beberapa koleksi yang ditampilkan antara lain karya arsitek Maclaine Pont, Berlage, A.F. Aalbers, Citroen, Thomas Karsten, Han Groenewegen, Wolff Schoemakers, Liem Bwan Tjie, dan lain-lain.

Episode kedua, “Modernisme Pembangunan Bangsa”, menampilkan karya-karya arsitek Sorensen, Friedrich Silaban, dan beberapa arsitek muda yang tergabung dalam kelompok ATAP - Bianpoen, Han Awal, Soewondo Bismo Soetedjo, dan Sujudi. Episode ini membahas modernisme di era Soekarno yang berkembang dalam beberapa konteks, Indonesia yang baru merdeka dan perang dingin yang sedang terjadi. Modernisme di sini lekat dengan angan-angan nation building Presiden Soekarno yang melibatkan pembayangan akan Indonesia yang bebas dan progresif.

Episode ketiga adalah “Keterakaran dan Lokalitas”, merujuk pada dekade 1960an saat terjadi kisah regionalisme pencarian jatidiri Indonesia. Dalam episode ini ditampilkan bagaimana lokalitas dicari. Bila Atelier 6 mencarinya melalui konsep tradisi, maka Y.B. Mangunwijaya mencarinya dengan menyentuh realitas kehidupan yang terjadi di suatu tempat secara totalitas. Ada pula karya tim perancang Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia yang mencari ke-Indonesia-an melalui pendekatan rasionalis. Juga Paul Rudolph, arsitek yang menghadapkan arsitektur dengan konteks iklim sebagai sebuah pendekatan alternatif.

Episode keempat yakni “Penjelajahan yang Terus Berlanjut”. Bagian terakhir menceritakan tentang perkembangan terakhir yang masih berlangsung hingga dekade pertama tahun 2000an. Episode ini menampilkan AMI serta penerusnya, juga kelompok-kelompok arsitek muda di kota lain seperti FAM, SAMM, De Maya, dan BoomArs. Bukannya mencari identitas nasional, arsitek yang lebih muda ini mencoba menjelajahi kemungkinan desain untuk memenuhi kebutuhan sekitarnya.

Pameran ini diikuti dengan rangkaian kegiatan lain seperti diskusi, bedah buku, pemutaran film dokumenter, dan kunjungan ke bangunan-bangunan yang berkaitan dengan materi pameran, untuk menunjang pemahaman pengunjung tentang materi yang ada. Penyusunan materi pameran ini berjalan paralel dengan proses editorial buku Tegang Bentang, yang baru dapat terbit secara resmi pada tahun 2012. Arsip di dalam editorial ini merupakan koleksi foto dokumentasi kegiatan pameran, gambar ilustrasi, maket, dan film dokumenter yang diterbitkan pada tahun 2007.

Adanya pameran Tegang Bentang telah membuka ruang diskusi dan kajian lebih lanjut tentang perkembangan arsitektur modern di Indonesia. Meskipun narasi yang ada masih didominasi dari sudut pandang kota-kota besar saja, juga proporsi pembahasan tiap subjek yang belum cukup imbang, Tegang Bentang berhasil memetakan banyak catatan penting sejarah arsitektur yang sering dijadikan referensi sejarah hingga kini. Adanya lubang-lubang tersebut justru mengindikasikan bahwa kesempatan untuk menggali kembali sejarah arsitektur Indonesia masih sangat luas.