Sebuah Tugu Bagi Indonesia
Oleh: Setiadi Sopandi | Jumat, 17 Agustus 2018
Sayembara Tugu Nasional adalah satu dari tiga sayembara arsitektur berskala nasional yang diadakan pada kurun waktu 1953-1955. Selain Bank Indonesia dan Masjid Istiqlal, Tugu Nasional dimaksudkan menjadi tetenger utama di kawasan “pusat” baru Ibukota Jakarta sekaligus sebagai sebuah manifestasi simbol nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia. Ketiga sayembara ini tidak diluncurkan berbarengan melainkan secara terpisah. Meskipun terpisah, posisi ketiga sayembara arsitektur berskala nasional di kawasan menandakan bahwa ada upaya kuat untuk menggubah kawasan ini lepas dari identitasnya di masa lalu.
Lapangan Medan Merdeka di masa pendudukan Belanda diberi nama Koningsplein, sebuah “lapangan kerajaan” yang berkembang bersama sebuah kawasan permukiman perkotaan baru di awal abad 19. Ketika itu, kawasan ini dihuni oleh deretan rumah-rumah “villa” para pembesar bangsa Eropa yang berusaha menghindari hiruk pikuknya kota tua Batavia yang memiliki bau tidak enak, kotor, dan dikerubungi nyamuk malaria. Kawasan yang dinamakan Weltevreden ini dihubungkan dengan Batavia lewat segaris jalan dan kanal Molenveit memisahkan tegas antara kota yang lama dengan kota yang baru. Rumah-rumah di kota yang baru ini terpisah oleh jarak lebar pekarangan yang luas, dinaungi pohon-pohon yang kelak tumbuh menjadi sangat besar. Jalan-jalan lebar juga membelah lahan-lahan hijau. Kawasan ini kemudian berkembang, dari sebuah tepian selatan kota, menjadi sebuah pusat kota yang baru.
Di sebelah selatan dari kawasan baru ini disisakan sebuah lapangan terbuka besar. Lapangan ini, dikelilingi oleh deretan rumah-rumah, tadinya disisakan untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi beberapa blok kota. Tidak jauh dari sana, di sebelah timur laut, sebuah lapangan terbuka lain – belakangan dijuluki sebagai Lapangan Banteng - telah lebih dulu terdefinisi sebagai ‘plaza’, sebagai halaman muka calon istana gubernur jenderal area jajahan. Koningsplein sedemikian besar sehingga pemerintah Gemeente Batavia mempertimbang beberapa rencana awal (yang diusulkan pada akhir abad 19 dan awal abad 20) untuk membagi lapangan ini menjadi beberapa blok kota yang memberikan tempat bagi balaikota Batavia yang baru, beberapa taman, beberapa gedung instansi pemerintahan dan fasilitas kota, beberapa lapangan dan sebuah stadion olah raga. Bahkan di akhir abad 20, ketika infrastruktur perkeretaapian dikembangkan, Stasiun Gambir didirikan di sisi timur. Melchior Treub, direktur Kebun Raya Bogor, bahkan pernah mengusulkan keseluruhan kavling Koningsplein dijadikan sebuah taman sebagaimana layaknya Central Park di Manhattan, New York.
Perencanaan yang dilakukan oleh Gemeente Batavia dilakukan tertatih-tatih namun berhasil menarik banyak perhatian masyarakat, terutama di kalangan arsitek profesional di dekade 1920 dan 1930. Tidak kurang biro-biro terkenal saat itu, seperti Karsten, Lutjens, & Toussaint (Semarang) dan Fermont & Cuypers, turut menyumbangkan gagasan mereka dalam membelah kavling ini menjadi berbagai fungsi dan kelengkapan kotapraja. Meskipun tidak ada rancangan para arsitek yang dieksekusi, pengembangan lanjutan kawasan Koningsplein ini tetap merujuk pada gagasan bahwa kawasan ini perlu dibagi-bagi dan digunakan bagi berbagai fungsi dan fasilitas kota.
Pada masa kemerdekaan, gagasan ini kemudian berubah 180 derajat sejak sebuah panitia dibentuk pada 17 Agustus 1954 yang bertugas untuk mengosongkan kawasan ini dan menyelenggarakan sayembara perancangan tugu nasional. Sayembara diumumkan secara terbuka pada Februari 1955 dan baru ditutup pada bulan Mei 1956. Sukarno mengidamkan sebuah tugu menjulang dari tengah lapangan tersebut, sebagaimana ia juga mengidamkan gedung-gedung instansi pemerintahan yang monumental menghiasi kelilingnya.
Keinginan ini tak segera terwujud dan jalannya cukup berliku.
Setelah menerima 51 gagasan wujud tugu nasional, hasil sayembara akhirnya diumumkan pada 20 April 1956. Usulan Friedrich Silaban – dengan nama sandi peserta “Bhinneka Tunggal Ika” - memperoleh penghargaan tertinggi, juara kedua, dengan menyisakan ruang kosong di posisi juara pertama dan juara ketiga. Arsitek Nur Alamsjah dan sekelompok mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang dipimpin oleh Kwee Hin Goan serta sekelompok lain (yang tidak teridentifikasi) menempati posisi juara harapan. Keputusan ini menyisakan kegelisahan bagi Sukarno dan panitia. Sukarno merasa masih tidak ada rancangan yang dapat merepresentasikan gagasan-gagasan abstrak yang wajib disematkan di dalam wujud fisik sebuah monumen. Kemungkinan lain adalah bahwa rancangan terbaik saat itu, usulan Silaban, terlalu besar untuk diwujudkan. Dekade 1950 juga masih diliputi berbagai peristiwa politik besar yang menyita perhatian dan sumber daya pemerintahan sehingga praktis tidak ada proyek-proyek monumental Sukarno yang dimulai.
Rancangan Silaban ini berbentuk sebuah tugu berbentuk balok tegak yang berdiri diapit oleh empat sayap yang dikomposisikan dari balok-balok yang lebih kecil. Pada ujung tertinggi tugu terdapat 5 lempeng balok yang terpadu sebagai representasi lima sila dari Pancasila. Bentuk tugu ini didukung dengan pelataran lingkaran yang dikelilingi oleh delapan gedung pendukung, yang turut berperan dalam monumentalitas komposisi tugu. Keseluruhan komposisi ini menghasilkan skala bangunan yang luar biasa besar karena Silaban mengupayakan dimensi setiap elemen komposisi ini untuk dapat menguasai lahan Medan Merdeka – demikian lapangan ini disebut pada era kemerdekaan – yang begitu besar. Rancangan ini memiliki 8 jalan silang yang membelah lahan, sehingga tugu nasional dapat dilihat dari kedelapan penjuru.
Namun keinginan untuk mendapatkan wujud terbaik bagi tugu nasional tetap terpelihara. Sukarno memutuskan untuk menyelenggarakan sayembara kedua untuk mendapatkan usulan-usulan baru bagi tugu nasional. Sayembara kedua ini baru dimulai pada 23 Maret 1960, 4 tahun setelah sayembara pertama diadakan. Kali ini, Silaban duduk sebagai juri bersama Menteri Pertama Djuanda, Menteri/ Ketua Depernas Mohammad Yamin, Menteri PP dan K Prijono, Menteri Perhubungan Darat dan PTT Mayjen Jatikusuma, Wakil Kepala Daerah Jakarta Raya Henk Ngantung, Rooseno, dan Hasan Purbo. Sayembara ini menghasilkan jauh lebih banyak gagasan dan peserta. Tercatat 222 orang mendaftarkan diri dan memasukkan 133 gagasan.
Pada 7 November 1960, rapat dewan juri yang dipimpin Sukarno melakukan pembahasan hasil pemasukan namun kembali gagal menentukan usulan yang dipilih. Setelah berdebat cukup sengit, juri akhirnya mengumumkan dua proposal yang meraih juara ketiga, tanpa juara pertama dan kedua! Alasannya, tidak ada proposal yang lebih baik dari juara kedua pada sayembara terdahulu!
Kekecewaan Sukarno ini akhirnya diteruskan dengan penunjukkan langsung kepada Silaban dan Soedarsono. Kedua arsitek ini diperintahkan untuk menjalin kerjasama dan bekerja merancang tugu nasional dibawah arahan langsung dari Sukarno. Silaban menolak ide ini dengan cukup keras dan mengusulkan untuk melakukan penugasan ini secara individual. Akhirnya Silaban mengusulkan sebuah rancangan baru, demikian pula dengan Soedarsono.
Rancangan tugu nasional kedua Silaban jauh lebih sederhana dari rancangan pertama. Rancangan ini berupa sebuah tugu berbentuk piramida yang kurus dan tinggi menjulang, yang ditempatkan di atas sebuah cawan raksasa berbentuk pelat beton berukuran 150 meter x 150 meter. Pelat beton ini berukuran sembilan kali lebih besar daripada tugu nasional yang kita miliki sekarang! Di bawah pelat ini terdapat sebuah aula berjenjang yang diperuntukkan bagi ritual tahunan kenegaraan seperti peringatan 17 Agustus 1945 dan di bawahnya diperuntukkan sebagai mausoleum!
Gagasan tugu nasional ini dilengkapi dengan aksis jalan kuat yang membentang dari utara ke selatan. Aksis terdiri dari jalan parallel mengapit kolam besar diantaranya sehingga mendukung monumentalitas tugu terutama dari arah utara dan selatan. Sebuah aksis diagonal dibubuhkan dalam komposisi ini untuk menegaskan hubungan visual antara tugu nasional dengan Masjid Istiqlal. Komposisi ini disesuaikan dengan rancangan konsep komposisi massa rancangan Masjid Istiqlal.
Kedua gagasan karya Silaban ini tidak pernah terwujud karena akhirnya pilihan jauh kepada gagasan Soedarsono yang kemudian dikembangkan dengan arahan langsung Sukarno. Namun peran penting Silaban sebagai perancang dan juga juri dalam proyek tugu nasional sama sekali tidak bisa dikesampingkan.