Ketika Arsitek Merancang Panggung

Oleh: Rifandi S. Nugroho | Sabtu, 9 Maret 2019

Dua pagelaran musik inisiasi musisi Indonesia mewarnai pekan pertama Februari 2019, “Konser Monokrom Tulus”, di Istora Senayan, 6 Februari 2019 dan “Salute”, sebuah konser apresiasi pada musisi perempuan yang digagas Erwin Gutawa, di ICE BSD, 9 Februari 2019. Di balik kemeriahan dua konser itu, terdapat buah karya dua firma arsitek muda pada rancangan panggung pertunjukannya. Mereka adalah Wiyoga Nurdiansyah Architects dan FFFAAARRR.

Dalam proses merancang panggung, arsitek tidak bisa lepas dari skenario dan tuntutan teknis pertunjukan. Pada tataran konseptual, arsitek perlu mempertimbangkan alur kejadian sepanjang pertunjukan dengan baik—merangkai orientasi, menyusun persepsi, membangun interaksi, serta membingkai pengalaman visual, aural, maupun spasial yang dapat diterima oleh semua orang di dalam ruang pertunjukan. Sedangkan pada tataran teknis, arsitek juga terikat pada batasan dimensi ruang, kapasitas, sirkulasi, sistem tata cahaya, visual, suara, maupun sistem utilitas lain penunjang pertunjukan.

Pada Konser Monokrom Tulus, Wiyoga Nurdiansyah Architects berkolaborasi langsung dengan Tulus sebagai perancang panggung. Satu per empat bagian lantai Istora Senayan diambil alih menjadi area pertunjukan. “Salah satu keinginan tulus sebagai figur utama dalam Konser Monokrom adalah menyapa sedekat mungkin semua penonton”, ujar arsitek dalam deskripsi karyanya. Maka dibuatkan mimbar tambahan di depan panggung utama berupa catwalk berwarna putih berbentuk cincin persegi panjang, membelah lautan penonton yang berdiri selama pertunjukan berlangsung. Konser ini juga melibatkan cukup banyak musisi pengiring. Untuk menjaga perhatian utama tetap pada Tulus maka posisi musisi pengiring dibuat berada pada level ketinggian yang lebih rendah di panggung utama.

Ekpresi artistik utama dari panggung konser monokrom ini ada pada layar proyeksi video mapping di atas panggung utama, menyerupai kubus yang diputar 45 derajat, seakan-akan keluar dari "lereng" putih buatan di belakang panggung. Kubus yang besar itu diduplikasi dalam bentuk yang lebih kecil di sisi belakang panggung utama, digunakan sebagai pintu masuk Tulus, dibantu lift hidrolik dari bagian bawa panggung. Rigging struktur tata cahaya dan suara dibalut dengan material rotan, melengkapi ekspresi estetis keseluruhan pertunjukan.

Sedangkan pada konser Salute, FFFAAARRR berkolaborasi dengan penata artistik Taba Sanchabakhtiar, mengangkat ekspresi proscenium teater klasik sebagai gagasan utama panggung. Proscenium itu berbentuk lingkaran berdiameter 20 meter, diisi oleh pengiring orkestra sebagai atraksi utama di bagian tengahnya. Sedangkan bagian “batas” lingkaran itu menjadi tapak mimbar yang dapat direspon aktif oleh penampil, dengan level ketinggian yang mengikuti kontur proscenium di sisi dalam. Di atasnya, barisan kain berlubang kurvatur dengan radius berbeda-beda membentuk ekspresi kubah volumetrik, menyajikan pengalaman visual tiga dimensional baik bagi penonton maupun penampil di dalam ruang. Barisan kain itu sekaligus menjadi latar proyeksi video mapping selama pertunjukan berlangsung.

Panggung, sebagaimana ruang pertunjukan, tidak pernah berdiri sendiri sebagai sebuah karya. Pamela Howard, seorang skenografer asal London, pernah berkata bahwa karya penciptaan ruang pertunjukan selalu belum lengkap, sampai si penampil melangkah untuk bermain dengan ruang dan mengikatkan diri dengan penonton. Melalui arsip ini, setidaknya kita juga dapat melihat, bahwa perancangan panggung Konser Monokrom Tulus dan Salute adalah buah proses kreatif merangkai kejadian secara artistik melalui kerja kolaboratif dengan berbagai pihak, yang hasilnya baru terlihat secara utuh setelah pertunjukan dimulai.

Kumpulan arsip ini menyajikan foto-foto selama pertunjukan berlangsung, gambar-gambar rancangan, maket, dan sketsa yang dibuat oleh tim Wiyoga Nurdiansyah Architects dan FFFAAARRR untuk Konser Monokrom Tulus dan Salute pada awal bulan Februari 2019 lalu.