Jakarta di Tangan Ciputra
Oleh: Adelia Andani | Selasa, 31 Desember 2019
Nama Ciputra kini dikenal dan dikenang sebagai wirausahawan handal pendiri Grup Ciputra, salah satu pengembang properti terbesar di Indonesia. Namun, beberapa dekade silam, Ciputra memulai karirnya sebagai arsitek. Bersama dua orang rekannya, Ismail Sofyan dan Budi Brasali, Ciputra membentuk CV. Daya Tjipta di Bandung, sebelum resmi mendapuk gelar Insinyur dari Institut Teknologi Bandung.
Beberapa proyek arsitektur sempat mereka selesaikan dengan baik. Belakangan, Ciputra merasa tidak cukup puas dengan hanya menggantungkan nasibnya lewat pekerjaan dari klien. Ia ingin menciptakan tambang pundinya sendiri. Pengembangan kawasan menjadi pilihan karirnya kemudian, yang dinilai bisa lebih membawa perubahan signifikan bagi kota, maupun bagi nasibnya sendiri.
Jakarta pada tahun 1960an merupakan target seksi pembangunan. Ambisi Presiden Sukarno mendandani Ibu Kota, serta Asian Games yang sudah di pelupuk mata mendorong pemerintah untuk mempermudah izin pembangunan. Ciputra, yang ketika itu baru menjadi Insinyur, undur diri dari CV. Daya Tjipta untuk merantau ke Jakarta. Momentum itu merupakan pertama kalinya Ciputra mencicipi karir sebagai pengembang, dengan peremajaan Pasar Senen sebagai proyek perdananya.
Ciputra memiliki gagasan untuk membangun kembali kawasan Pasar Senen dalam versi modern, dengan fungsi yang sepenuhnya komersil. Racangan gedung pasar empat lantai buatan Ciputra disambut baik oleh Soemarno, Gubernur Jakarta 1960-1964, dan Presiden Soekarno. Pada tahun 1961, dengan gabungan saham pemerintah dan swasta, PT. Pembangunan Ibu Kota Jakarta Raya atau PT. Pembangunan Jaya resmi berdiri. Tugas pertamanya menjalankan Proyek Senen, dikomandoi Ciputra sebagai direktur operasionalnya.
Pada Proyek Senen, belasan hektar lahan dibebaskan. Sebagian besar warga dan pedagang direlokasi ke Keramat Sentiong dan Johar Baru, industri rumahan ditempatkan di Cempaka Putih, puluhan ribu makam Tionghoa dipindahkan ke Jelambar, dan penggiat prostitusi digiring untuk dilokalisasi di Kramat Tunggak. Proyek ini menjadi tonggak karir Ciputra. Dirinya mulai dikenal sebagai pengembang handal sejak saat itu. Namun, bagi Ciputra pribadi, proyek itu membuat dirinya kapok untuk melakukan penggusuran di area padat penduduk.
Pada kesempatan berikutnya, lahan-lahan perkebunan, hutan, maupun perairan menjadi pilihan situs yang lebih minim drama untuk dikembangkan. Misalnya Ancol, kawasan lahan basah di tepi utara Jakarta ini menjadi sasaran PT. Pembangunan Jaya, untuk dijadikan kawasan wisata terpadu. Hutan dibabat, rawa ditimbun, demi mendirikan kawasan industri, hotel, cottage, kasino, pasar seni, perumahan mewah, hingga themed park. Meskipun akhirnya ada lahan yang perlu dibebaskan dengan proses yang sulit dan menelan biaya tinggi, setidaknya pada proyek ini tidak ada penghuni yang perlu digusur dari rumahnya sendiri, selain satwa-satwa liar di sekelilingnya.
Sepuluh tahun bekerja pada Grup Pembangunan Jaya membuat Ciputra sadar bahwa ruang geraknya terbatas pada proyek pemerintah DKI. Tanpa meninggalkan jabatannya di Grup Jaya, Ciputra, Sofyan, dan Brasali kemudian membentuk PT. Metropolitan Kentjana, dengan sistem kepemilikan saham pihak swasta. Sasaran pengembangan pertama mereka adalah hamparan sawah dan perkebunan di Jakarta Selatan, yang kini kita kenal dengan kawasan Bintaro Jaya.
Sekitar tahun 1970an, ketika Jakarta sedang kelimpungan menampung luapan arus urbanisasi, kebutuhan akan hunian dan fasilitas publik turut berlipat ganda. Seolah tidak puas membangun perumahan saja, Grup Metropolitan kemudian menggadang kawasan Bintaro Jaya untuk dijadikan kota satelit. Sayangnya, akibat keterbatasan modal, proyek pengembangan kawasan ini terpaksa dijual ke Grup Pembangunan Jaya. Meski begitu, usaha Ciputra dan Grup Metropolitan untuk mengembangkan periferi Jakarta tidak berhenti di situ. Pada tahun 1972, Grup Metropolitan meratakan 460 hektar hutan karet di kawasan Pondok Pinang, untuk dijadikan kawasan hunian dan pertokoan kelas atas yang hari ini kita kenal dengan nama Pondok Indah.
Memasuki usia 50 tahun, Ciputra mendirikan grup ketiganya, yang dikelola secara eksklusif oleh keluarga. Grup ini menjadi hadiah dari dirinya untuk keluarga, sekaligus medan latihan bagi anak-cucunya. Fokus pengembangan grup ini adalah real estate di area rural. Dari sini, Ciputra membuat keputusan penting yang mengubah arah usahanya, untuk lebih fokus pada pengembangan kawasan di luar Jakarta, Jawa, bahkan Indonesia. Keputusan ini tergolong cerdas dan khas Ciputra, yang – belajar dari Proyek Senen – lebih senang menggarap lahan kosong yang belum “diduduki” orang lain sebelumnya.
Strategi Ciputra untuk mengembangkan lahan “kosong” membuat skala proyek-proyeknya seolah bersifat memperluas kawasan ketimbang memadatkan. Misalnya, pada proyek Ancol, dataran Jakarta dengan pantai Teluk Jakarta dapat dipertemukan. Sedangkan pada proyek Pondok Indah dan Bintaro Jaya, batas area sisi selatan Jakarta digeser, meneruskan area Kebayoran Baru yang sudah ada sebelumnya. Begitu pula pada proyek perumahan Grup Ciputra, Citra Garden, keberadaannya menyambut pembangunan Bandara Soekarno-Hatta dengan pengembagan ke arah barat.
Proyek-proyek Ciputra turut berkontribusi besar terhadap modernisasi dan pengadaan permukiman berstandar di Jakarta, mulai pada kelas perumahan mewah hingga sederhana. Pada proyek perumahan- perumahan kecil, hasil penjualannya disirkulasikan untuk pembebasan lahan di proyek besar. Pembangunan rumah massal menjadi begitu lazim kemudian, hingga menjadi patokan stardardisasi hunian modern.
Dua penghargaan Satya Lencana Pembangunan dari Presiden Suharto di era Orde Baru diraih Ciputra atas obsesinya dalam pengembangan properti di perkotaan. Penghargaan ini adalah yang tertinggi di bidang pembangunan, diberikan langsung oleh Presiden kepada individu yang dinilai memiliki kontribusi signifikan. Penghargaan pertama diraih pada tahun 1985, menyambut suksesnya proyek Taman Impian Jaya Ancol. Kali keduanya di tahun 1995, setahun setelah perusahaan keluarganya go public.
Ciputra wafat pada 27 November lalu di Singapura. Di usia 88 tahun, ia meninggalkan istri, 4 orang anak, tiga grup perusahaan serta puluhan anak perusahaannya. Kepergiannya menjadi momentum bagi khalayak untuk melihat ke belakang dan merefleksikan ulang jejak yang ia ditinggalkan. Tanpa disadari, keputusan bisnis Ciputra telah menempa karakter banyak sisi kota Jakarta.