Berdiri di Atas Wakil Rakyat
Oleh: Rifandi S. Nugroho | Selasa, 21 Mei 2019
Kompleks parlemen DPR/MPR RI di Senayan mulanya adalah arena politik yang digagas Sukarno pada tahun 1965 untuk penyelenggaraan Conference of New Emerging Forces (CONEFO). Melalui sayembara desain dalam waktu yang singkat, Soejoedi dipilih sebagai pemenangnya.
Rancangan Soejoedi terinspirasi dari bentuk gedung parlemen di Brazil rancangan Oscar Niemeyer yang menggunakan atap tempurung. Dalam prosesnya, tim yang ia kepalai tidak berhasil membuat maket bentuk tempurung secara sempurna. Bentuknya yang terbelah justru menarik perhatiannya, dan menjadi bangunan utama konferensi yang ada hingga saat ini.
Belum sampai setahun sejak tiang pancang pertama didirikan rezim politik berganti. Kompleks gedung CONEFO itu dijadikan kantor baru para wakil rakyat yang sebelumnya berada di samping Lapangan Banteng. Tempat yang semula direncanakan hanya dipakai sementara oleh anggota DPR-GR akhirnya digunakan selamanya.
Atap tempurung rancangan Soejoedi menjadi saksi perjuangan reformasi di Indonesia. Pada 21 Mei 1998, Suharto yang telah menjadi presiden selama 32 tahun menyatakan pengunduran dirinya. Sorak sorai di atas cangkang kembar itu barangkali sulit untuk terulang kembali. Namun setidaknya di tempat itu rakyat Indonesia pernah berdiri, selangkah lebih tinggi dari wakil rakyat yang bekerja di dalamnya.
Koleksi ini merupakan kumpulan gambar rancangan gedung DPR/MPR RI arsip Soejoedi Wirjoatmodjo yang ditampilkan di dalam buku Membuka Selubung Cakrawala Arsitek Soejoedi (Gubahlaras Arsitek & Perencana, 2011) dan Tegang Bentang: Ketegangan dan Perdebatan Dalam Sejarah Arsitektur Modern Indonesia (Pusat Dokumentasi Arsitektur-Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007).