Adhi Moersid: Menjembatani Lokalitas dan Modernitas
Oleh: Gregorius Jasson | Selasa, 31 Desember 2019
Pada 1986, sebuah masjid kecil di tengah permukiman padat penduduk di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat, tiba-tiba mengejutkan skena arsitektur Indonesia. Masjid seluas 400 meter persegi yang dikelilingi ruang terbuka hijau itu dianugerahi Aga Khan Award For Architecture, atas pencapaian arsitekturnya yang dinilai memberi dampak positif bagi masyarakat sekitar.
Rancangan masjid ini cukup sederhana. Denah lantai dasarnya berbentuk persegi, dengan posisi mihrab pada dinding barat yang dikelilingi plaza terbuka. Atapnya tipikal masjid-masjid tradisional Jawa, mengadaptasi bentuk meru bertingkat dua dengan tingkatan atas atapnya diputar 45 derajat. Strategi demikian menghasilkan ventilasi untuk sirkulasi udara dan cahaya alami ke ruang dalam masjid. Struktur atap baja-balok kayu yang terbentang lebar berhasil menggantikan kebutuhan sokoguru di tengah-tengah ruangan, sehingga membebaskan pandangan jemaah ke arah mihrab. Ornamentasi hanya sebatas kaca patri bermotif pada celah antar atap, serta keramik lantai masjid yang menandai jalur shaf jemaah.
Kesederhanaan ini menjadi kunci yang mengantarkan Masjid Said Naum dianugerahi penghargaan tersebut. Ismail Serageldin, salah satu anggota komite Aga Khan Award saat itu, menilai bahwa Masjid Said Naum berhasil membuktikan upaya nyata arsitektur modern Indonesia untuk merangkul kembali nilai-nilai spasial lokal. Keharmonisan antara tata ruang dan tektonika bangunan masjid ini telah berhasil membangun kualitas spasial tersebut. Kualitas ini tentunya tidak muncul begitu saja tanpa melalui rangkaian panjang umpan-balik perancangan oleh arsiteknya, Adhi Moersid.
Untuk memahami pola pikir Adhi Moersid, kita bisa berjalan mundur ke proyek pertamanya yang dibangun pada tahun 1975: kediaman pribadinya di wilayah Kalibata, Jakarta Selatan. Pada rumah ini, Adhi Moersid melakukan eksperimentasi sistem struktur papan-paku - yang menjadi andalan pada proyek-proyek berikutnya - untuk pertama kalinya. Dengan sistem ini, sistem konstruksi atap tidak memerlukan kuda-kuda lagi, sehingga bisa menghasilkan bentuk yang lebih eksploratif. Detail-detail andalan Adhi Moersid seperti lubang angin dan celah cahaya pada pertemuan antar atap juga dengan mudah diaplikasikan dengan sistem struktur papan paku ini.
Seperti yang tertulis di dalam buku Kagunan, Adhi mulai bereksperimen dengan teknik papan paku ini setelah mengobservasi sistem konstruksi rumah-rumah sederhana di perkampungan. Baginya, kualitas sebuah karya arsitektur sejalan dengan logika struktur dasarnya. Jika sistem struktur sebuah bangunan mampu bekerja secara optimal, estetika ruang akan tumbuh dengan sendirinya.
Bagi Adhi Moersid, filosofi kagunan (Jawa: fungsional) adalah esensi utama dalam tradisi arsitektur nusantara. Oleh karena itu, merupakan tanggung jawab arsitek Indonesia, termasuk dirinya, untuk dapat merawat tradisi itu dan menyesuaikannya ke dalam konteks terkini. Pemahaman praksis Adhi Moersid ini sedikit banyak terbentuk dari pengaruh Professor Van Romondt semasa pendidikannya di ITB. Kagunan pun menjadi prinsip berkarya Adhi Moersid selama beberapa dekade berikutnya.
Karakter modern-regionalisme dari filosofi itu dapat dibaca pada proyek-proyeknya yang lain. Dalam proyek rumah tinggal Sardono W. Kusumo (1992) dan H.S. Dillon (1994), Adhi menerjemahkan ulang identitas budaya setiap keluarga ke setiap elemen bangunan tanpa sedikit pun mereduksi fungsi domestiknya. Sementara dalam proyek Kafe Solo (1996), Rumah Badran (1998), serta Sono Seni Kemalyan (1998), Adhi berusaha memberikan kebaruan arsitektur sembari melestarikan ingatan sejarah beberapa bangunan lama di kota Solo, Jawa Tengah. Adhi juga bereksperimen menggabungkan prinsip struktur tradisional dengan material bangunan termuktahir, seperti yang ditampilkan dalam proyek Graha Widya Patra di Komplek TMII (1990) dan Rumah Ami Priyono (1994).
Adhi Moersid percaya bahwa arsitektur dapat menjadi alat budaya yang menghubungkan manusia dengan alam sekitarnya, sekaligus untuk mengenali eksistensi dirinya. Sebagai produk budaya, khususnya budaya material, arsitektur selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Dengan demikian seorang arsitek juga perlu untuk dapat “membaca zaman”, menginterpretasikan ulang nilai-nilai yang melekat di dalam ruang untuk dapat tetap relevan terhadap dinamika terkini. Dialog struktur dapat menjadi medium yang efektif untuk menjembatani kesadaran terhadap budaya dengan realita kehidupan sehari-hari, tegasnya.
Atas konsistensi terhadap pemahamannya, berbagai penghargaan nasional dan internasional telah diberikan kepada Adhi Moersid. Selain Aga Khan Award For Architecture (1986), penghargaan signifikan lain juga dianugerahkan kepada dirinya, seperti Design Luminary Award (2012), dan Piagam Satyalencana Kebudayaan Indonesia di bidang arsitektur (2012).
Sepanjang karirnya, Adhi Moersid tidak berjalan sendirian. Adhi berkolaborasi dengan beberapa pihak untuk memberi kontribusi pada skala lebih besar. Karir profesionalnya dimulai sejak mendirikan Atelier 6 bersama teman-teman satu almamater, yang sebelumnya terlibat pengerjaan proyek Komplek CONEFO (1963-1964), di bawah asuhan arsitek Soejoedi. Mereka adalah Yuswadi Saliya, Darmawan Prawirohardjo, Robi Sularto, Nurrochman Sidharta, dan Iwan Sunaryo. Kelahiran Atelier 6 ini semula tidak ditujukan untuk menjadi biro konsultan, melainkan sebagai judul kolektif bagi karya-karya arsitek dengan visi yang sama: melestarikan jati diri ke-Indonesia-an pada karya-karya arsitektur modern mereka.
Selain itu, Adhi Moersid turut berkontribusi atas pendirian ARCASIA, lembaga arsitek seantero Asia, yang didirikan pada tahun 1977. Lembaga ini pada mulanya didirikan oleh para profesional untuk memfasilitasi serta mempromosikan praksis arsitektur di Asia pada skala global. Atas kontribusinya di berbagai institusi profesional, Adhi Moersid dipercaya menjadi kepala deputi ARCASIA periode 1987-1989 dan anggota Steering Committee untuk Aga Khan Award periode 1995-1998. Di dalam negeri, Adhi juga pernah dipercayakan menjadi ketua umum IAI Nasional periode 1985-1989.
Pada bidang akademis, Adhi pernah bergabung bersama tim penelitian Arsitektur Tradisional untuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia selama 1975-1976. Adhi juga memiliki minat sangat besar pada bidang seni rupa, hal ini tercermin dari keterlibatan dirinya sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 1982-1986. Konsistensi yang sama turut mengantarkan Adhi untuk memangku jabatan Rektor Institut Kesenian Jakarta periode 1990-2000.
Adhi Moersid menghembuskan nafas terakhirnya pada November 2019 lalu di kediaman pribadinya. Di rumah itu, dirinya tidak hanya memproduksi arsitektur, namun juga wacana serta pengetahuan yang menjembatani nilai-nilai lokal dalam bingkai modernitas lewat laku berarsitektur. Semangat untuk melestarikan nilai-nilai itu kini diberikan ke tangan kita.